Implementasi Undang-Undang ITE dalam Kebebasan Berekspresi

UU ITE: Pedang Bermata Dua bagi Kebebasan Berekspresi

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hadir sebagai payung hukum untuk menertibkan ruang digital Indonesia. Tujuan awalnya mulia: memberantas kejahatan siber seperti penipuan daring, penyebaran hoaks, perundungan, dan ujaran kebencian, demi menciptakan ekosistem digital yang aman dan bertanggung jawab.

Namun, implementasinya seringkali memicu perdebatan sengit terkait batas-batas kebebasan berekspresi. Beberapa pasal, khususnya yang berkaitan dengan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, kerap menjadi sorotan. Penafsirannya yang dinilai terlalu luas dan multitafsir membuat pasal-pasal ini rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik atau menjerat individu yang sekadar menyampaikan opini atau keluhan.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan "kriminalisasi" ekspresi dan efek gentar (chilling effect) di kalangan warganet, di mana orang menjadi enggan menyampaikan pendapat karena takut dijerat hukum. Di satu sisi, kebutuhan akan regulasi untuk melawan disinformasi dan perundungan siber memang mendesak. Di sisi lain, kebebasan berekspresi adalah pilar demokrasi yang fundamental dan harus dilindungi.

Upaya revisi UU ITE telah dilakukan untuk menajamkan pasal-pasal kontroversial, memastikan perlindungan hak-hak sipil, dan meminimalisir potensi penyalahgunaan. Pada akhirnya, implementasi UU ITE harus menemukan titik keseimbangan yang adil: menjaga ketertiban dan keamanan ruang digital tanpa mengorbankan hak asasi warga negara untuk berekspresi secara bebas dan bertanggung jawab. Literasi digital dan penegakan hukum yang proporsional adalah kunci untuk mewujudkannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *