Faktor Sosial Budaya yang Meningkatkan Risiko Kekerasan Anak di Rumah

Bukan Sekadar Fisik: Mengurai Akar Budaya Kekerasan Anak di Rumah

Kekerasan terhadap anak di rumah adalah isu kompleks yang akarnya seringkali tertanam dalam pola sosial dan budaya masyarakat. Lebih dari sekadar tindakan fisik, beberapa faktor sosiokultural tanpa disadari dapat meningkatkan risiko anak menjadi korban di lingkungan yang seharusnya paling aman.

Berikut adalah beberapa di antaranya:

  1. Normalisasi Hukuman Fisik: Warisan pandangan bahwa kekerasan fisik (seperti cubitan, pukulan ringan, atau jeweran) adalah metode disiplin yang wajar dan efektif untuk mendidik anak. Frasa "anak nakal harus dipukul" atau "dulu saya juga dipukul dan jadi orang" menjadi pembenaran.
  2. Budaya "Tutup Mulut" dan Stigma: Adanya anggapan bahwa urusan rumah tangga adalah privasi mutlak yang tidak boleh diintervensi orang luar. Hal ini menciptakan lingkungan di mana korban takut melapor dan tetangga atau kerabat enggan campur tangan, menjadikan kekerasan tersembunyi di balik pintu tertutup.
  3. Hierarki Keluarga dan Ketidaksetaraan Gender: Struktur keluarga yang sangat patriarkis atau hierarkis sering menempatkan anak pada posisi subordinat tanpa hak bersuara. Anak dianggap "milik" orang tua, yang berhak melakukan apa saja demi "kebaikan" mereka, termasuk kekerasan.
  4. Minimnya Pemahaman Pola Asuh Positif: Keterbatasan akses atau pemahaman orang tua tentang perkembangan anak dan metode disiplin non-kekerasan. Budaya sering tidak menekankan pendidikan parenting yang positif, sehingga orang tua cenderung meniru pola asuh yang mereka terima di masa lalu.
  5. Tekanan Sosial dan Ekonomi: Meskipun bukan faktor budaya langsung, tekanan hidup yang tinggi (kemiskinan, pengangguran, stres) dapat memperburuk perilaku kekerasan. Dalam beberapa budaya, kurangnya mekanisme koping yang sehat dalam menghadapi tekanan ini bisa berujung pada ledakan emosi terhadap yang paling rentan: anak.

Mengubah pola kekerasan ini membutuhkan lebih dari sekadar penegakan hukum; ia menuntut perubahan narasi budaya, pendidikan berkelanjutan, dan kesediaan masyarakat untuk membongkar norma-norma yang secara diam-diam membenarkan penderitaan anak. Membangun lingkungan yang aman bagi anak dimulai dari mengubah cara pandang kita terhadap mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *